PM Vanuatu Charlot Salwai lebih suka “main cewek” ketimbang menata rumah sendiri
Oleh : Jonah Telenggeng (Maybrat, Papua Barat)
Bagi Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai, isu Papua
Barat ibarat ‘perselingkuhan’ dalam perjalanan karir politiknya. Seperti tetangganya
PM Manasseh Sogavare dari Kepulauan Solomon, ‘rumah tangga’ Salwai saat ini
sedang mendapat cobaan berat. Menyelesaikan urusan dalam negeri bagaikan
menghadapi amukan istri yang telah dikhianati.
Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai
|
Tentangan berkepanjangan dari lawan-lawan politik, pertumbuhan
ekonomi yang merosot dan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bantuan
luar negeri, menjadikan mereka sangat vokal terhadap isu Papua Barat. Isu Papua
Barat ibarat bola sepak yang mereka seenaknya tendang untuk menjadikan tontonan umum guna mengalihkan
perhatian dari masalah sebenarnya di dalam negeri.
Salwai, menjabat sebagai PM Vanuatu sejak Februari 2016. Ia
naik menjadi Perdana Menteri setelah 14 orang anggota parlemen dari
pemerintahan Sato Kilman dipenjara karena kasus korupsi di negara yang hanya
berpenduduk 260 ribu jiwa itu. Badai topan tropis Pam yang menghantam Vanuatu
tahun 2015 telah menghancurkan sekitar 64 persen PDB Vanuatu di tahun 2015.
Untuk membangun kembali negara itu dibutuhkan sekitar 674
juta dolar AS, suatu jumlah yang diakui PM Kilman sangat sulit untuk diperoleh.
Sejak saat itu, upaya rekonstruksi selalu diganggu tuduhan korupsi dan
ketidakcakapan pemerintah. Sektor pariwisata, yang menyumbang 65 persen PDB
Vanuatu juga masih berjuang untuk bangkit kembali. Meski IMF memprediksi
pertumbuhan ekonomi sebesar 4 persen pada 2016, defisit fiskal juga diprediksi
mencapai 11,3 persen dari GDP. Defisit ini sebagian besar ditutup oleh pinjaman
luar negeri.
Vanuatu menggantungkan 30 persen APBN dan 18 persen
pendapatan nasionalnya pada dana pinjaman dan hibah. Data Lowy Institute
menunjukkan bahwa total bantuan dari Cina untuk periode 2006-2014 mencapai
lebih dari 243 juta dolar AS. Jumlah ini menjadikan Cina sebagai donor terbesar
kedua setelah Australia.
Hubungan Vanuatu dengan Cina yang didasari materi, dapat
menjelaskan dukungan Charlot Salwai yang tidak pernah surut kepada Cina dalam
isu Laut Cina Selatan (LCS). Pada Mei 2016, di istananya yang dibangun oleh
dana dari Cina, Salwai mengeluarkan pernyataan yang mendukung Beijing, mengecam
proses arbitrase yang berlangsung di Den Haag dan menyerukan bahwa klaim
wilayah “harus berdasarkan fakta-fakta sejarah dan kebudayaan”. Suatu
pernyataan yang sama persis dengan poin-poin argumen Kementerian Luar Negeri
Cina.
Salwai tidak menjelaskan keributan dan instabilitas yang
akan terjadi jika seandainya negara-negara
yang terlibat konflik LCS membuat klaim hanya berdasarkan ‘fakta-fakta
sejarah dan kebudayaan’, bukannya atas dasar hukum sesuai dengan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Salwai juga tidak
menjelaskan alasan ia mendukung Papua Barat namun tidak mendukung Taiwan.
Seperti teman sepenanggungannya PM Sogavare, PM Salwai tenggelam
dalam ilusi bahwa ia mendapat perhatian dan puji-pujian dunia internasional
karena mendukung Papua Barat berpisah dari Indonesia. Mereka melarikan diri
dari masalah dalam negeri dan memilih menjauh untuk mengikuti ‘godaan’ isu
Papua Barat. Pertemuan MSG, PIF dan Pacific Coalition on West Papua (PCWP) yang
mereka hadiri baru-baru ini tak ubahnya seperti janji kencan dengan wanita
idaman lain.
Terlena dengan nafsu, Salwai menyatakan bahwa “Papua Barat
memiliki hak menentukan nasib sendiri”. Kata-kata yang diucapkan layaknya
pasangan selingkuh yang ingin meyakinkan diri bahwa mereka melakukannya atas
dasar cinta dan bukan sekedar birahi.
Salwai lupa, bahwa setiap hari provinsi Papua dan Papua
Barat di Indonesia sudah menentukan nasib mereka sendiri. PM Salwai gagal
menerima kenyataan bahwa kedua provinsi itu mempraktekkan demokrasi dan telah
memiliki pemimpin dari etnis mereka sendiri. Lebih parahnya, mereka juga tidak
mau percaya bahwa mayoritas masyarakat Papua Barat ingin membangun provinsinya
menjadi lebih makmur dan sejahtera di dalam satu kesatuan negara Indonesia.
Bukannya menghadapi secara jantan situasi politik dalam
negeri yang kacau, pertumbuhan ekonomi yang lemah dan menyelesaikan masalah
dalam negerinya, Salwai malah memainkan peran sebagai orang kuat dan
menggaungkan separatisme Papua. Bagi PM Vanuatu itu, mendukung separatisme
Papua jelas lebih seksi, lebih memikat, dan memberi mereka tempat untuk lari
dari kenyataan.
10 komentar:
Usik2 negara orang,,, kerjaan saja tidak benar... ko main2 perempuan lagi, tidak mencontohkan perilaku yang baik...
Mau bikin apa sudah urus ko,... negara memalukan,
Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai pemimipin yang tak patut untuk di contoh masyarakatnya.
negara sendiri saja berantakan tak karuan,,,mau urus papua. nambah hancur
sesosok pahlawan kesiangan yang punya banyak masalah pribadinya,
Bagai mana mau atur negara orang Ko sendiri tra beres, maen perempuan
Kok bisa ya urusin negara orang apa sudah kuwatkah negaranya.
ko lubnag puki saja di pikir
bejat itu makanya banyak yg kena HIV
dasar bejat
Posting Komentar