Rabu, 12 Oktober 2016


PM Vanuatu Charlot Salwai lebih suka “main cewek” ketimbang menata rumah sendiri


Oleh : Jonah Telenggeng (Maybrat, Papua Barat)




Bagi Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai, isu Papua Barat ibarat ‘perselingkuhan’ dalam perjalanan karir politiknya. Seperti tetangganya PM Manasseh Sogavare dari Kepulauan Solomon, ‘rumah tangga’ Salwai saat ini sedang mendapat cobaan berat. Menyelesaikan urusan dalam negeri bagaikan menghadapi amukan istri yang telah dikhianati.
Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai
Tentangan berkepanjangan dari lawan-lawan politik, pertumbuhan ekonomi yang merosot dan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bantuan luar negeri, menjadikan mereka sangat vokal terhadap isu Papua Barat. Isu Papua Barat ibarat bola sepak yang mereka seenaknya tendang untuk  menjadikan tontonan umum guna mengalihkan perhatian dari masalah sebenarnya di dalam negeri.

Salwai, menjabat sebagai PM Vanuatu sejak Februari 2016. Ia naik menjadi Perdana Menteri setelah 14 orang anggota parlemen dari pemerintahan Sato Kilman dipenjara karena kasus korupsi di negara yang hanya berpenduduk 260 ribu jiwa itu. Badai topan tropis Pam yang menghantam Vanuatu tahun 2015 telah menghancurkan sekitar 64 persen PDB Vanuatu di tahun 2015.

Untuk membangun kembali negara itu dibutuhkan sekitar 674 juta dolar AS, suatu jumlah yang diakui PM Kilman sangat sulit untuk diperoleh. Sejak saat itu, upaya rekonstruksi selalu diganggu tuduhan korupsi dan ketidakcakapan pemerintah. Sektor pariwisata, yang menyumbang 65 persen PDB Vanuatu juga masih berjuang untuk bangkit kembali. Meski IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi sebesar 4 persen pada 2016, defisit fiskal juga diprediksi mencapai 11,3 persen dari GDP. Defisit ini sebagian besar ditutup oleh pinjaman luar negeri.

Vanuatu menggantungkan 30 persen APBN dan 18 persen pendapatan nasionalnya pada dana pinjaman dan hibah. Data Lowy Institute menunjukkan bahwa total bantuan dari Cina untuk periode 2006-2014 mencapai lebih dari 243 juta dolar AS. Jumlah ini menjadikan Cina sebagai donor terbesar kedua setelah Australia.

Hubungan Vanuatu dengan Cina yang didasari materi, dapat menjelaskan dukungan Charlot Salwai yang tidak pernah surut kepada Cina dalam isu Laut Cina Selatan (LCS). Pada Mei 2016, di istananya yang dibangun oleh dana dari Cina, Salwai mengeluarkan pernyataan yang mendukung Beijing, mengecam proses arbitrase yang berlangsung di Den Haag dan menyerukan bahwa klaim wilayah “harus berdasarkan fakta-fakta sejarah dan kebudayaan”. Suatu pernyataan yang sama persis dengan poin-poin argumen Kementerian Luar Negeri Cina.

Salwai tidak menjelaskan keributan dan instabilitas yang akan terjadi jika seandainya negara-negara  yang terlibat konflik LCS membuat klaim hanya berdasarkan ‘fakta-fakta sejarah dan kebudayaan’, bukannya atas dasar hukum sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Salwai juga tidak menjelaskan alasan ia mendukung Papua Barat namun tidak mendukung Taiwan.

Seperti teman sepenanggungannya PM Sogavare, PM Salwai tenggelam dalam ilusi bahwa ia mendapat perhatian dan puji-pujian dunia internasional karena mendukung Papua Barat berpisah dari Indonesia. Mereka melarikan diri dari masalah dalam negeri dan memilih menjauh untuk mengikuti ‘godaan’ isu Papua Barat. Pertemuan MSG, PIF dan Pacific Coalition on West Papua (PCWP) yang mereka hadiri baru-baru ini tak ubahnya seperti janji kencan dengan wanita idaman lain.

Terlena dengan nafsu, Salwai menyatakan bahwa “Papua Barat memiliki hak menentukan nasib sendiri”. Kata-kata yang diucapkan layaknya pasangan selingkuh yang ingin meyakinkan diri bahwa mereka melakukannya atas dasar cinta dan bukan sekedar birahi.

Salwai lupa, bahwa setiap hari provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia sudah menentukan nasib mereka sendiri. PM Salwai gagal menerima kenyataan bahwa kedua provinsi itu mempraktekkan demokrasi dan telah memiliki pemimpin dari etnis mereka sendiri. Lebih parahnya, mereka juga tidak mau percaya bahwa mayoritas masyarakat Papua Barat ingin membangun provinsinya menjadi lebih makmur dan sejahtera di dalam satu kesatuan negara Indonesia.

Bukannya menghadapi secara jantan situasi politik dalam negeri yang kacau, pertumbuhan ekonomi yang lemah dan menyelesaikan masalah dalam negerinya, Salwai malah memainkan peran sebagai orang kuat dan menggaungkan separatisme Papua. Bagi PM Vanuatu itu, mendukung separatisme Papua jelas lebih seksi, lebih memikat, dan memberi mereka tempat untuk lari dari kenyataan.




10 komentar:

Jelita mengatakan...

Usik2 negara orang,,, kerjaan saja tidak benar... ko main2 perempuan lagi, tidak mencontohkan perilaku yang baik...

Dewi mengatakan...

Mau bikin apa sudah urus ko,... negara memalukan,

jasmine mengatakan...

Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai pemimipin yang tak patut untuk di contoh masyarakatnya.

michael mengatakan...

negara sendiri saja berantakan tak karuan,,,mau urus papua. nambah hancur

tamani mengatakan...

sesosok pahlawan kesiangan yang punya banyak masalah pribadinya,

Desy mengatakan...

Bagai mana mau atur negara orang Ko sendiri tra beres, maen perempuan

Ditalia mengatakan...

Kok bisa ya urusin negara orang apa sudah kuwatkah negaranya.

yuka koto mengatakan...

ko lubnag puki saja di pikir

Yunus Wonda mengatakan...

bejat itu makanya banyak yg kena HIV

mely Wati mengatakan...

dasar bejat